Jul 7, 2009

Hukum Memakai Diapers

Pengasuh Fas’alu yang dimuliakan Alloh. Saya ingin menanyakan mengenai hukum memakai diapers pada anak-anak balita. Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

Santi, santi.surabaya@xxx.com

Jawaban

Berbicara masalah najis berhubungan dengan ketika najis itu menjadi mani’ (penghalang). Ketika anak dipakaikan diapers, berarti anak tersebut membawa (‘nggembol) air seni dan kotoran. Di sisi lain, ada maksud untuk menjaga agar najis tidak menyebar ke tempat lain. Tapi anaknya yang menjadi korban.

Najis tidak boleh jika berhubungan dengan amalan yang ada pengaruh hukumnya terhadap najis. Tetapi jika ada najis dalam aktivitas yang bebas hukum, maka dibolehkan. Misalnya membawa anak saat sedang sholat, sedangkan anak tersebut memakai diapers, maka hal itu tidak boleh. Tetapi jika tidak dalam sholat maka boleh-boleh saja. Karena sebenarnya pada hakekatnya, setiap diri manusia selalu membawa kotoran (jumbleng mlaku). Masalah apakah menjijikan atau tidak, itu tidak termasuk dalam pembahasan tentang hukum.

Menurut Imam Syafii, dalam melakukan sholat, mutlak harus suci dari najis atau termasuk syarat sahnya sholat. Tapi menurut Imam Malik, kesucian dari najis adalah hanya untuk kesempurnaan sholat.


Terlepas dari ketentuan hukum menurut Imam Syafii dan Imam Malik, kenyataan dalam riwayat, Rasulullah menggendong Sayyidina Hasan Husein waktu sholat dan beliau juga menggendong Umamah putrinya Sayyidina Zainab. Dan saat beliau sujud, anak tersebut diletakkan. Menurut ahli hadits, tidak ada keterangan yang menjelaskan anak tersebut dalam keadaan suci atau najis. Pada kenyataannya Rasululloh menggendongnya. Jadi kalaupun ada najis maka dimaafkan.

Namun, ahli fikih yang mempermasalahkannya. Kalau kondisinya jelas-jelas diketahui ada najis, menurut Imam Syafii, maka untuk mendapatkan hal yang utama maka lebih baik najis tersebut disucikan.

Dalam kehidupan sehari-hari, bagi kita yang memiliki anak balita memang serba repot untuk menghindari najis. Tidak mungkin kita benar-benar steril dari najis, karena setiap hari bergelut dengan anak. Mungkin pendapat Imam Malik bisa menjadi solusi, bahwa kesucian dari najis adalah untuk kesempurnaan sholat, tidak sampai membatalkan sholat.

Dapat disimpulkan mengenai hukum pemakaian diapers pada balita, kembali pada apakah ada pengaruhnya terhadap aktivitas ibadah seperti sholat. Jika demikian akan dihukumi boleh atau tidak. Tetapi jika diapers dipakaikan pada balita dan balita tidak diajak sholat, maka diserahkan kepada masing-masing orang apakah mau atau tidak (boleh-boleh saja) untuk memakaikannya.[]

Hakikat Cinta Kepada Alloh

Cinta bukan sekedar diucapkan dengan kata-kata. Namun cinta itu mesti dibuktikan dengan tindakan nyata. Lebih-lebih cinta kepada sang Khalik Alloh swt. Betapa banyak orang mengikrarkan cinta pada-Nya, tapi hakikatnya perasaan mahabbah itu semu tidak nyata.

Al Hubb Lillaah
Alloh ta’ala berfirman: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh”. QS. al-Baqarah: 165.

Ini terkait hubungan seorang muslim dengan diri sendiri yang berupa kewajiban membangun kepribadian Islam yang mencakup: 1) Pola pikir Islami yang berpikir dengan logika Islam ketika memberikan penilaian terhadap segala sesuatu, kejadian-kejadian, pribadi-pribadi dengan aneka ragam sikap. 2) Pola jiwa Islami yang memberikan gambaran bagaimana berinteraksi dengan orang sekitar dan segala yang ada di kanan kirinya sesuai manhaj.

Ini berarti tidak ada pilihan kecuali melakukan pembinaan kepada generasi muslim yang kelak akan mengemban Risalah Islam dengan pemikiran yang jelas di kepalanya, aqidah kuat menancap dalam hatinya, ibadah yag murni untuk Tuhannya dan amal shaleh yang memberikan manfaat kepada selainnya.


Al Hubb Fillaah
Alloh ta’ala berfirman, “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara…” QS. Hujurat: 10. Ini terkait hubungan seorang muslim dengan saudaranya yang berupa kewajiban mewujudkan ikatan Ilsam seperti yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat yang disebutkan oleh Alloh dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”

Sikap tegas mereka terhadap orang-orang kafir adalah sebagai buah dari tindakan melarang kemungkaran dalam makna luas, sementara berkasih sayang di antara mereka merupakan buah aktivitas memerintahkan yang baik dalam makna yang luas pula seperti terkandung dalam sabda Rasulullah sholallahu alaihim wasallam, “Setiap kebaikan adalah sedekah”. HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud. Sementara sedekah bisa menolak bencana. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang pengasih akan selalu dikasihi Dzat Maha Pengasih tabbaraka wata’aalaa. Kasihanilah orang yang ada di bumi niscaya orang yang ada di langit akan selalu mengasihi kalian!” HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Hakim. (al Jami’ as Shagir 2/25). “Perlakuan baik akan menjaga dari kematian-kematian buruk, bencana-bencana dan kerusakan-kerusakan…” HR. Hakim dalam al Mustadrak/Kasyful Ghummah: hal. 12).

Al Hubb Ma’allah

Alloh ta’alaa berfirman, “Maka pernakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…” QS. Jatsiyah: 22.

Ini terkait hubungan seorang muslim dengan amalnya. Ia menyangka telah beramal karena Alloh, padahal dalam dirinya ada syirik yang tidak menampak baginya meski ia tahu itu termasuk hal-hal yang merusak amal. Ibnu Taimiyah dalam sebagian fatwa-fatwanya berkata:
“Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya memiliki kecintaan sebagaimana kaum musyrikin mencintai tuhan-tuhan mereka dan sebagaimana kecintaan para penyembah kepada anak sapi emas. Inilah kecintaan Ma’allah, bukan kecintaan Lillaah. Dan inilah kecintaan pada ahli syirik. Hawa nafsu terkadang mengaku mencintai Alloh, meski pada kenyataannya itu adalah kecintaan syirik. Ia hanya cinta kepada sesuatu yang disukainya yang terbungkus dalam kecintaan bersama Alloh. Dan memang keinginan itu sendiri terkadang tidak jelas bagi nafsu sebab sesungguhnya kecintaan anda akan sesuatu bisa menjadikan buta dan menyebabkan tuli. Begitulah amal yang oleh manusia disangka bahwa telah menjalankannya karena Alloh, padahal di sana adal syirik terselubung yang sebenarnya ia mengetahuinya. Hal itu karena kecintaan akan kekuasaan (riyasah), atau kecintaan akan harta benda, atau kecintaan akan popularitas. Karena inilah para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena keberanian, dorongan emosional dan karena pamer. Manakah yang berbeda di jalan Alloh? Beliau sholallahu alai wasallam menjawab, “Barang siapa yang berperang agar kalimat Alloh menjadi mulia maka dialah yang berada di jalan Alloh””. (Tafsir al Qosimi, Mahasin at Ta’wiil I/462). Dan inilah yang dinamakan Syirik Khafi yang harus diwaspadai oleh seorang muslim yang terbina.[]